Ternyata, Banjarmasin yang sejauh ini aman dan damai tidak membuat kota ini masuk dalam 10 kota toleran di Indonesia. Kendati begitu, ternyata juga tidak termasuk dalam kota intoleran. Jadi berada di tengah-tengah antara toleran dan intoleran.

Menyikapi itu, Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3 Banjarmasin) menggelar kegiatan Focus Group Discusion (FGD) dengan mengundang sejumlah tokoh lintas agama, ormas keagamaan dan akademisi, serta pegiat kerukunan beragama.

Berlangsung di Hotel Best Westren Banjarmasin, Rabu (10/3/2021), acara berjalan hangat penuh persaudaraan, dengan narasumber Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Banjarmasin, H. Mathari, S.Ag, Drs. Sarmiji, M.Ag dari FKUB Kota Banjarmasin, Kesbangpol Kota Banjarmasin, Direktur LK3 Banjarmasin Rafiqah selaku pemantik diskusi, dan Noorhalis Majid, aktivis LK3 Banjarmasin sebagai moderator.

“FGD berhasil merefleksi pentingnya merawat toleransi, Hal ini karena Banjarmasin akan menjadi penyangga ibu kota negara yang boleh jadi akan rawan muncul berbagai gesekan yang dapat membahayakan,” ujar Noorhalis Majid dalam keterangannya kepada asyikasyik.com. Terlebih, katanya, kondisi masyarakat yang imunitasnya sangat lemah, yakni rentan terbawa arus isu-isu bersifat nasional, termasuk yang tersebar di media sosial.

Apa yang menyebabkan Banjarmasin hanya berada di tengah, bukan termasuk 10 kota toleran? Terungkap fakta, bahwa even-even perjumpaan antar agama sangat jarang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin. Sehingga, walaupun aman damai, namun terasa asing satu dengan lainnya. Begitu juga dengan RPJMD, dirasa belum berpihak pada pemajuan kerukunan beragama, serta belum adanya kebijakan payung yang dapat mengakomodir serta melindungi keragaman penduduknya.

Pemerintah daerah juga dirasa masih tak terlalu kuat perannya dalam merawat kerukunan, belum menjadi motor penggerak dalam soal toleransi, bahkan sejumlah kebijakan terkadang dianggap menghambat tumbuhnya toleransi.

“Terutama ketika kebijakan yang dibuat tidak pernah didialogkan dengan masyarakat yang multikultural, multi enik dan agama,” sebut Noorhalis Majid.

Terungkap juga dalam diskusi, walau sudah ada FKUB sebagai forum kerukunan beragama, namun masih dianggap elitis, belum menyentuh masyarakat terbawah. Kadang, diskriminasi justru datang pada level paling bawah, seperti kebijakan RT atau RW. Membuat aturan lingkungan yang mendiskriminasi dan membatasi dalam menjalankan ibadah bagi warganya. Begitu juga dengan aturan di sekolah, sangat mungkin dibuat sekehendak hati, mengabaikan orang lain, sehingga dirasa mendiskriminasi. Padahal pemerintah pusat sudah menegaskan, bahwa dalam soal agama, negara tidak boleh melarang warganya menjalankan agama dan keyakinannya, termasuk juga tidak boleh mewajibkan atau memaksa untuk melalukannya. Padahal kebebasan warga sudah dijamin oleh UUD 1945.

FKUB disebutkan hanya berperan sebagai miniatur kerukunan yang belum memberi pengaruh besar bagi masyarakat di tingkat bawah. Padahal FKUB dapat saja menggagas berbagai perjumpaan yang dapat saling mengakrabkan satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya. Selain juga dapat menjadi jembatan untuk bersinergi antar forum atau majelis agama agar saling bekerjasama, terutama dalam soal-soal kemanusiaan. Minimal FKUB membuka ruang-ruang yang dapat menampung berbagai persoalan terkait toleransi. Namun kapasitas FKUB yang sangat terbatas, tidak mampu berperan secara maksimal, selain masih rendahnya dukungan finansial terhadap lembaga tersebut.

“Dalam FGD tersebut berulang kali terlontar perlunya peraturan yang dapat memayungi dan menjaga toleransi kehidupan bermasyarakat,” kata Noorhalis Majid. Sebab, lanjutnya, kalau tidak ada peraturan yang memayungi atau mendorong toleransi, minimal tidak ada regulasi yang menghalanginya. Bila yang lahir justru perda-perda yang menghalangi toleransi, maka tentu semakin sulit mewujudkan Banjarmasin sebagai kota toleran.

Di ujung acara, sebut Noorhalis Majid, FGD merumuskan atau melahirkan sejumlah rekomendasi, Pertama, hendaknya Pemko Banjarmasin membuat event-event perjumpaan agar toleransi terus terawat dan semakin kuat; Kedua, membuat peraturan yang dapat menjadi payung hingga mampu menjamin serta melindungi toleransi kehidupan bermasyarakat hingga tingkat paling bawah. Ketiga, evaluasi atau review berbagai peraturan yang dinilai menghambat terwujudkan kerukunan bermasyarakat. Terakhir, membuka ruang-ruang atau forum yang dapat menampung berbagai persoalan menyangkut kerukunan bermasyarakat.@