NASRUDDIN mempunyai seorang pesaing di kampungnya. Sebut saja namanya Kai Tamam, karena apapun yang ia lakukan selalu dilakukannya dengan sempurna.
Nasruddin alim, Kai Tamam pun alim. Nasruddin punya banyak teman, Kai Tamam juga disukai banyak orang.
Kai Tamam tampak sangat perfeksionis, dalam hal apa saja, sebaliknya Nasruddin seringkali ceroboh dan suka melakukan yang aneh-aneh.
Pada suatu hari Nasruddin melihat pesaingnya tengah bergegas pulang di bawah guyuran hujan. Ia melindungi kepalanya dengan handuk kecil dan setengah berlari kecil.
Nasruddin melihatnya dari balik jendela, dan ketika Kai lewat di depan rumahnya ia berteriak.
“Kenapa orang suci sepertimu melarikan diri dari rahmat Allah?!”
Karena mengkhawatirkan reputasinya, Kai Tamam berhenti seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan pulangnya dengan berjalan menundukkan kepala.
Esok harinya terdengar kabar Kai Tamam terserang flu dan tidak bisa keluar rumah. Beberapa hari itu hujan tetap turun membasahi kampung Nasruddin. Kai Tamam tetap di rumah meski sudah terlihat bugar. Sementara Nasruddin tengah punya urusan penting di rumah tetangga mereka.
Selesai urusannya, Nasruddin bergegas ingin pulang. Ia baru tersadar, ada hal penting lainnya yang harus dikerjakannya di rumah. Ia pun berlari-lari kecil di tengah basah.
Kebetulan Kai tengah menghirup teh hangat di pinggir jendela kamarnya, dan ia melihat Nasruddin akan melewati rumahnya. Ia merasa ini kesempatannya untuk membalas, dan ia sengaja berteriak pula.
“Hoii, Din, mengapa kau lari dari rahmat Allah? Apakah kau tidak menghormati hadiah Ilahi!”
Sambil terus berlari dan menoleh sesaat, Nasruddin balas berteriak. “Justru karena alasan itu aku berlari, bahkan kalau bisa melompat,” kata Nasruddin sambil mempraktikkan melompat-lompat. “Aku tidak ingin mengotori air suci ini dengan kakiku yang berlumpur!”@