JAM 12 MALAM
Jam 12 malam
Hujan turun dan angin berdansa dengan dedaun
Lemari es itu seolah memberikan seluruh tubuhnya padaku: gigil sekali
Listrik yang padam dan cahaya kilat di antara iringan irama petir yang menakut
Aku berdiam di kamar tidur
Memandang wajahmu yang manis, dan memeluk tubuhku sendiri
Rindu dan temu adalah penyakit dan obat yang tak akan terpisah hingga kiamat
Jam 12 malam
Hujan turun dan angin berdansa dengan dedaun
Kau masih bekerja: berkeliaran pada hati dan benakku yang kangen
Dan aku merindukanmu tanpa secangkir kopi
Agar lekas tiba aku pada mimpi
Subang, 2018
YANG KAU SEBUT JARAK
Dan di antara pagi yang kuning dan senja yang jingga terselip rentang waktu yang kau ukur bersama detak jarum jam
Aku tak pernah benar-benar tahu seperti apa pengertian jarak sebenarnya. Seperti kaki yang melangkah kian dan kemari
Kau katakan Jawa dan Sumatera terpisah selat Sunda
Dan jarak adalah keduanya
Tapi aku tak memahami itu, aku awam, dan hanya tahu perasaan. Aku tak tahu jarak, tak pernah
Jika kau katakan antara Kubang dan Subang adalah jarak yang terpisah jauh, maka aku sebaliknya
Kau dan aku selalu ada di antara pelupuk mata. Tak pernah jauh-jarak, tak pernah tercipta, ia hanya pelontaran kata layaknya cinta yang aku rawat dalam puisi-puisi
Subang, 2018
DI BUKITTINGGI
Di Bukittinggi
Kau baluti rindu dengan selimutmu yang kedinginan
Memeluk diri sendiri dalam pekerjaan yang menguras hati dan tenaga
: menunggu
Aku pulang, telah sampai di rumah ibu
Hendak menemuimu
Dengan sepeda motor pinjaman paman yang baik hati
Bersama rindu, aku mulai perjalanan
Gerimis di Sumani dan gelombang kecil Danau Singkarak serupa rindu di dada yang juga hendak tumpah
Sepanjang danau,
Sampai di Batipuh, gerbang Padang Panjang dan udara kota yang sejuk serupa hati yang riang harap akan segera berjumpa, awan putih dan pegunungan itu malu-malu dan hilang bersama kedatangan malam
Aku sengaja meninggalkan jaket
Membiarkan tubuhku kedinginan
Sebab nanti setiba di Bukittinggi
: aku ingin dengan kedua lenganmu menungguku datang
Menyelimuti rindu dengan kangenmu yang juga kedingingan
Bukittinggi, 2018
SEPASANG KEKASIH
Kemarin, gerimis dan hujan bertukar peran secepat kilat di langit senja
Dingin udara kota dan awan putih setiba di Batibuh melantunkan sukur pada hati yang teduh bersama
“Pegang erat tanganku”
“Kau demikian”
Sepasang kekasih beranjak pulang menanak cinta di dada masing-masing
Lalu mengantarnya pada manusia kampung yang lena dan menimbun amarah dalam senyum
“Sudahlah, hujan telah reda. Awan pun demikian indah”
Terbukalah hati yang tertutup dan terang jua nan kelam
Padang Panjang, 2018
PAGI SAAT JAM KERJA
Puan, sebelum kau datang pada tubuhku yang lengang
Sepi adalah tempat liburan paling sering aku kunjungi
Puan, sesekali dunia sesak bagiku. Kala mimpi dan tidur di antara kopi tanpa gula, aku ingin pada sepi. Namun hadirmu telah membunuhnya
Puan, terkadang datang dan pergi tak betul dapat aku bedakan. Layaknya pelancong yang datang berada dan pulang tiada
Puan, menetaplah di sini
Pohon kering tak kunjung berbuah. Setidaknya hadirmu: memberiku beberapa daun dan sehimpun bunga
Subang, 2018
———————-
Anil Safrianza, lahir di Sijunjung Sumatera Barat, 31 Desember 1997. Buku kumpulan puisi perdana “Bila kau sedih dan rentan tangis” (2018). Penggagas Purata Publishing dan merupakan anggota keluarga Komunitas Daun Ranting, SUMBAR.