Madihin Bara Batu Bara
—Sebuah variasi, sebuah subversi
Tersebut nian bumi Kalimantan
Banyak batu banyak kayunya
Batu hitam batu mulia
Batu hijau kecubung nyawa
Batu intan batu cempaka
Batu merah batu delima
Batu pekat menyimpan darah
Batu hitam pertanda dalam
Menyimpan api bara dendam
Maka dinamakan si batu bara
membara di gunung dan hutan-hutan
di jalan-jalan di pelabuhan
Oi, di jalan-jalan dan pelabuhan
Semua mengalir semua diam
Kayu ditebang hutan dibakar
Kota asap kampung pun arang
Batu ditambang diangkut tongkang
diseret maling berkapal-kapal
di Kapuas, Barito dan Mahakam
sampai ke Laut Cina Selatan
Dikawal awak kapal patroli
Setengah hati setengah girang
Sambil mengepung membuka jalan
Karena urusan pasti beres di sini
Pajak dan kwitansi, bea dan pungli
bedanya setipis kulit ari
Oi, bea dan pungli setipis kulit ari
Setipis daging ikan lais
Di anak sungai kering mati sendiri
Ditinggal mati para penghuni
mengais remah-remah kasihan bumi
Sungai kering, perahu, lanting
berganti bedeng dan deru mesin penggali
umpat tak berdaya para kuli
dan kening terbakar penambang malang
di lobang-lobang hitam galian
Oi, di lobang-lobang hitam galian
Batu-batu hitam membara
Di liang mata para penambang, petani, pemilik bumi
akan bangkit mereka di hulu sungai,
di lambung gunung dan bukit-bukit
memanggul rasa sakit, o, sangsai!
Lebih bara daripada batu bara
Lebih hitam daripada dendam
Di gudang-gudang pelabuhan
Di kuala dan kota-kota
Semua akan nyala
didihkan kata-kata
bukan sekedar aruh biasa.
/Tanjung Tabalong, 2009-2011
Catatan:
Madihin: kesenian tradisional Banjar (Kalsel) berupa pertunjukan pantun berkait diiringi rebana, dan
setiap perpindahan ke bait baru, baris terakhir pada bait sebelumnya diulang kembali.
Lanting: rumah terapung di tepian sungai
Aruh: pesta, upacara
Alahai Bajo
: kepada Kai Mohtar
dan Kelompok Pusaka Laut, Kotabaru
Denting kecapi, panting jemari. Syahdu seruling
berimpit wingit irama merdu. Ngingatkanku
pada deretan nisan berukir dan bergambar
warna-warni di lereng bukit Rampah tepi laut itu
“Kai Mohtar, nyanyikan untukku
suara laut suara pantai, irama alahai!”
Ia menyambut, tubuhnya kekar serupa sampan
dari Pagatan,”Ahai, kami hidup di laut, tinggal di laut
di bagang-bagang yang berkerjap bila malam
persis kilau sisik ikang-ikang…”
“Nyanyikan, Kai, atau tuturkan,
Kupahamkan campur-campur bahasa Bugis
Makassar atau Banjar, di lidah orang Bajo
semua larut serupa garam.”
“Ya, ya, seperti laut menerima
semua warna dan suara,
kami pun tak membedakan bahasa
sebab ia dayung sekaligus perahu
membawa kami menepi sesekali menjauh
Darat bukanlah musuh kami dan laut adalah sekutu
Kami saling mencintai dan menundukkan
Jangan salah paham, jangan kami disangkarkan:
cinta kami penuh pergulatan
seumpama memancang tiang kayu gelam
makin kuat tiap terbenam
Maka kami rindukan juga rumah di pantai
yang gang-gangnya menjulur ke air
ke sanalah tiap Jumat tiba kami menepi
membersihkan diri di dermaga
dan berbaris ke mesjid pinggir kota
Anak-anak kami juga belajar membaca peta
biar tak karam di daratan. Ya, darat bukan musuh
meski bukan sekutu mudah berbagi
Di bukit kecil menghadap laut
—di mana pian ikut larut
telah kami bangun kerajaan makam
berhias huruf Arab, berukir orang tahayat
simbol hidup akan berakhir
sehabis salam.”
“Teruslah, Kai, biarkan aku larut
dalam alur kisah dan buah tutur
para leluhur…”
“Leluhur yang terlanjur berkubur di laut
kami ikhlaskan sebagaimana kami ikhlas menerima
menara mesjid jadi suar dan jangkar jiwa kami
Darat dan laut kembaran bumi
bertemu dan bertaut dalam diri
hingga akhir hayat salam kami
Maka makam di bukit dekat menghadap ombak
dari mana si mati masih mencium
amis tangan meraut karang
mendengar gemuruh dada anak diburu gelombang
dan kesudahannya: menyaksikan ikan todak dilanggar topan
Sesekali, tengah malam, roh leluhur mencebur ke laut
tersedak rindu-dendam yang akut
mereka menambur gendang kulit pari
seperti kanak-kanak bermata elang mereka menari
Itu isyarat baik bagi ketapang dan batu karang
saling berpeluk akar dengan diam,
sebagaimana kami merasuk ke pucuk-pucuk ombak
ke akar-akar gelombang yang menjalar diam-diam
ke Pagatan, ke Teluk Tamiang
hingga ke Pulau Lari-larian!”
“Lanjutkan, Kai, lanjutkan,
Aku ingin angin dari seberang
masuk ke ubunan rumah-rumah tiang
dan ubun-ubunku sendiri yang gosong
penuh pengharapan: tak lapuk di air
tak patah di karang!”
“Alahai: nyanyian laut orang laut
dawai dipetik kasih bertaut. Ulun nyanyikan, Tuan,
pelayaran camar api, terbakar gugur di gerbang mimpi
tidur tak nyenyak kelana sepi. Atau hiu kapal terbang
menabrak karang pucuk awan, angslup ditarik gerhana bulan
ke garis batas kegelapan, diiris sepotong-sepotong
di piring hampa para pejalan.”
“Kai Mohtar, aku tak tahan,
Kai sebut aku dalam nyanyian
Hentikan, Kai, hentakkan!
Jangkarkan jiwaku
di pantai dan lautmu
hingga bersama leluhur
aku ikut tercebur tapi tak karam.”
“Ahai, bersiaplah, pian, songsong gelombang,
Di pantai dan laut mana pun pian menunggu, sama saja
Camar-camar api itu akan datang bersama ikan todak
dan hiu kapal terbang—mereka utusan
supaya dikenali suara kami: denting kecapi,
panting jemari, jangan lupakan. Sebab sehabis salam
semua baru dimulai dalam irama alahai: sayup-sayup sampai
ke laut dan pantai yang sedang diciptakan. ”
/Kotabaru-Yogyakarta, 2011-2012
Catatan:
Alahai: seni pertunjukan Suku Bajo, khususnya di Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan,
berupa syair-syair tentang laut diiringi petikan kecapi.
Bagang : aslinya bagan, diucapkan dalam bahasa Bugis jadi bagang; merupakan tiang-tiang
kayu yang didirikan di tengah laut, diberi lantai papan, untuk menangkap dan
mengolah ikan
Ikang: lafal ikan dalam bahasa Bugis
Pian: Engkau (sapaan halus untuk orang kedua dalam bahasa Banjar)
Ulun: Saya (sebutan halus untuk orang pertama dalam bahasa Banjar)