Banjarmasin saat ini bisa dibilang kota yang cukup padat, di beberapa titik sering terjadi kemacetan—meski belum teramat parah. Secara umum masyarakat Banjar menganggap Banjarmasin kota yang gerah, dan tidak cukup memiliki ruang publik yang nyaman untuk menikmati kesejukan.
Sepuluh tahun terakhir, Banjarmasin mengalami perkembangan yang cukup pesat. Maksudnya perkembangan penyebaran penduduk atau hunian. Beberapa kawasan yang terasa sekali kepadatannya adalah di kawasan Kayutangi, Handil Bakti, Sultan Adam, dan Sungai Andai. Di kawasan itu, hampir sepanjang waktu—kecuali pas tengah malam, jalanan sesak dengan kendaraan bermotor.
Di tengah kepadatan itu, ditambah terik matahari—maklum Banjarmasin termasuk kota yang cukup panas, maka hal wajar bila kemudian kita membayangkan suatu tempat yang teduh, rindang, dan nyaman. Kita mungkin bisa saja mampir di kafe-kafe yang memang belakangan juga menjamur di Banjarmasin; menikmati kopi, misalnya. Namun, mungkin pemandangan di depan kita akan tetap disuguhi keriuhan lalu lintas dan cuaca yang panas.
Nah, salah satu tempat yang bisa menjadi pelarian dari gerahnya kota Banjarmasin itu, adalah Rumah Alam, yang terletak di kawasan Sungai Andai, tepatnya di Komplek Andai Jaya Persada, Blok D No.8, Banjarmasin Utara, Kalimantan Selatan. Niscaya, ketika Anda berada di sana, Anda seolah merasa tidak sedang berada di kota Banjarmasin.
Rumah Alam ini milik pasangan Noorhalis Majid dan Rakhmalina, keduanya merupakan aktivis di Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin. Tidak saja menjadi tempat tinggal, tetapi juga menjadi rumah makan sekaligus tempat rekreasi. Di samping juga sebagai tempat kreativitas dan kegiatan mereka bersama LK3.
Bangunan rumah didominasi bahan kayu dan bambu ini didirikan sejak 2016 di sebuah lokasi yang masih alami, seolah berada di tepian hutan dengan pohon-pohon kelapa, rambutan, mangga, dan jenis lainnya, dan bunga anggrek.
Tidak berlebihan bila kemudian Rumah Alam ini seakan menjadi oase di tengah kota Banjarmasin yang kian jejal dan gerah.
“Dulunya ini adalah kebun warga, yang kemudian kami jadikan tempat tinggal dengan konsep bersatu dengan alam,” ujar Noorhalis Majid, yang juga mantan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Selatan ini, Kamis (29/4/2021).
Sebelum sampai pada bangunan utama Rumah Alam, kita terlebih dulu akan melewati titian jembatan kayu beratap rumbia dengan kolam-kolam ikan di bawahnya. Rumah Alam dibangun dengan langit-langit cukup tinggi, dan jendela-jendela lebar, sehingga angin leluasa berembus. Di berandanya terdapat dua meja dari batang kayu besar, begitu pula di samping kirinya yang di sana juga terdapat sebuah kolam serta bangunan kayu berloteng. Di ruangan utama, sebuah batang pohon berdiri di tengah-tengah, dan rak-rak penuh buku di dinding, serta meja-meja.
Diceritakan Noorhalis Majid yang juga penulis buku peribahasa Banjar “Hambar Satrup” dan “Tatarang Tangguk” ini, Rumah Alam terinpirasi bangunan Guest House Bukit Raya Palangka Raya, ketika ia berkunjung ke sana suatu ketika. Karena kebetulan kenal dengan arsiteknya, yakni Thomas Bronningman warna Negara Swiss yang juga mantan guru arsitek di STM Mandomai Kalimantan Tengah dan menetap di Palangka Raya, ia pun meminta untuk mendesain Rumah Alam.
Hingga saat ini, Rumah Alam ramai dikunjungi. Bila tidak sedang bulan Ramadan seperti sekarang ini, Rumah Alam yang menyediakan menu masakan di antaranya sup iga, bebek, ayam goreng, dan lain-lain ini sering menjadi tempat pilihan makan siang atau tempat pertemuan, serta berkegiatan.
“Di bulan Ramadan ini kami melayani untuk berbuka puasa. Untuk rombongan, harus terlebih dulu pesan tempat dan menu,” ucap Rakhmalina, yang juga pemiliki usaha Pizza Rukun.