(Catatan Serial Diskusi Tionghoa Banjar)
Ada rasa penasaran yang sangat besar dari peserta diskusi, Selasa (14/9/2021) di rumah Alam Sungai Andai Banjarmasin. Benarkah orangtua dari Syekh Arsyad Al Banjari, Datu Kelampayan, merupakan etnis Tionghoa yang diundang secara khusus ke Istana Banjar, dan kawin dengan kerabat keluarga istana? Benarkah ia seorang seniman pahat yang sangat berbakat, sehingga istana Banjar memerlukan jasanya untuk mempercantik istana?
Pagi itu, diskusi yang digelar oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin berlangsung penuh kekeluargaan, sekalipun dihadiri oleh latar belakang etnis dan agama yang berbeda. Suasana sangat akrab, sama-sama ingin menggali dan bertukar pengetahuan.
Diksusi yang dihadiri para tokoh Tionghoa Banjar, seperti Romo Sarwa Darma, Bagong, Winardi Sethiono, Sugiharta, Maria Roeslie, Arifin Setiono, dan lain-lain, serta sejumlah tokoh yang menamakan dirinya Juriat Datu Kelayampayan, lebih kepada “bacu-ur”, masing-masing pihak membuka silsilahnya, diharapkan ditemukan titik perjumpaan, baik ke atas atau ke samping, dari orang-orang yang mencoba ingin menggali catatan juriat dari leluhurnya.
Soal Datu Guwat, perempuan Tionghoa, yang diperistri Datu Kelampayan dan kemudian melahirkan banyak ulama besar, salah satunya Mufti Jamaluddin, sudah tidak menjadi perdebatan. Catatan kedua belah pihak, dan bahkan catatan sejarah sudah banyak menuliskannya, bahkan Datu Guwat adalah seorang Tionghoa. Namun yang masih harus digali adalah, siapa sebenarnya Datu Guwat tersebut?
Romo Sarwa yang bermarga Phang, memiliki buku silsilah keluarga dan tersimpan rapi sebagai satu buku wasiat yang sangat berharga, buku tersebut berusia hampir 100 tahun, dalam buku tersebut menyimpan catatan silsilah marga Phang yang sangat berharga. Disebutkan, bahwa Datu Guwat bukan orang lain dari Datu Kelampayan, masih terkait kerabat – sepupu, keluarga dari neneknya Kho Sun Cio. Dengan demikian, menguatkan pendapatnya bahwa orangtua Datu kelampayan yang bernama Abdullah, tidak lain adalah Phang Ban Tian atau pada waktu itu juga dipanggil dengan sebutan Kiai Muntin.