Menikmati minuman bersoda setelah kelelahan yang luar biasa itu ternyata benar-benar no bokis. Membakar lintingan tembakau yang baru dibuka dari bungkusnya juga jadi kenikmatan tersendiri. Memang tidak ada nilai-nilai kesehatan di antara keduanya. Tapi, nape jadi bisa belanja, nih? Dapat uang dari mana? Sa’e ni orang.
Mari kita tarik garis waktu.
***
Dari Al Karomah sampai ke Batas Kota itu memakan waktu kurang lebih dari sejam kayaknya. Hal yang paling beruntung pada pertengahannya adalah, saya tawakal, untung-untungnya mampir di kampus yang dulunya saya pernah kuliah di sana. Harap-harap cemas semoga kantin buka. Dan, keberuntungan itu saya dapati. Saya sempat ngemil walaupun ngebon. Berbicara sedikit saja dengan beberapa adik tingkat di teater. Sampai nanya-nanya “Pakai apa dengan siapa, Bang?”
“Sendiri. Jalan kaki.”
“Mosooooookkk!”
Mereka tidak percaya. Ada Kawasaki Ninja 250 warna hitam gelap di samping kantin kampus yang terpakir. Katanya, dia gak pernah melihat motor itu sebelumnya, pasti sawa yang bawa. Wah, pakai ninja, nih sekarang, ceritanya. Emang, ya, kalau dari awal dah kebanyakan gaya mau bilang susah sedikit aja sama lingkungan pergaulan pada gak percaya semua. Padahal keseharian yang seperti itu lah sudah apa adanya. Gak ada apa-apanya.
Menurut jam dinding kantin, 17.45 itu saya sudah permisi untuk melanjutkan perjalanan. Menyusuri lorong belakang kelas sampai loncat pagar ke Jl Perwira menuju jalan raya. (Saya terpaksa harus loncat pagar karena kalau jalan normal muternya kejauhan, men).
Melewati persimpangan lampu merah sekumpul, jembatan irigasi, dan saya lelah lagi. Duduk-duduk sebentar, senja menyapa di sebelah barat, langit memerah. Azan berkumandang, saya baru berhenti persis di depan Q Mall. Beruntungnya melakukan perjalanan sore ke malam saya sudah tidak terlalu berkeringat. Meski kaki sudah terlampau sakit. Diharit!
Seandainya kuat lari-lari, tentu saya sempat berjamaah di Masjid Nurul Falah yang diseberangnya. Tapi, karena buru-buru mengejar salat berjamaah seperti berlari itu bagian dari makruh, maka saya tetap berjalan saja sebagaimana adanya.
Dalam langkah demi langkah, ujung sandal jepit yang tadi saya pakai terasa sekali ingin terlepas. Ngerasa, gak sih, kalau kita udah kelamaan makai sandal jepit, di ujungnya itu kayak nyembul pengen keluar gitu. Insting saya, sandal ini akan putus. Tapi belum tahu, entah ketika sampai mana.
Saya tiba di Masjid Nurul Falah, masih melihat sandal yang pertama tadi saya tinggal masih ada, tapi berpindah tempat. Itu artinya sudah berfungsi dengan baik. Saya menyelesaikan salat magrib.
Tak dinyana, malam itu ternyata ada pembacaan kitab oleh seorang ulama. Pantas orang-orang pakaiannya rapi semua. Pasca berjamaah seperti berberes, duduk di beberapa titik. Guru membuka kitab dan membacakannya.
“Faslun, babun tawakalun, ini suatu fasol pada menyatakan tawakal,” Eh, kebetulan. Dalam ceramahnya, guru menceritakan tingkat tawakal para sahabat, para nabi, kemudian cerita orang soleh yang memetaforakan bagaimana burung hidup dengan tawakal. Pergi tak membawa apa-apa, lalu pulang membawakan makanan untuk anak-anaknya. Saya jadi merasa bersalah. Berangkat gak bawa apa-apa, pulang juga tidak, kayaknya. Hiks!
Dalam majelis itu, beberapa orang membagikan kue “untuk” dan segelas air dalam kemasan. Wah, ternyata ini yang namanya rejeki tak disangka-sangka. Padahal, gak niat juga, kan ya! Tapi melihat penampilan untuk saja saya tidak tertarik. “Untuk!” You know lah, ya! makanan khas orangtua, penampilannya biasa sekali. Saya diamkan saja.
Makin lama dipandang, perut ini memanggil, agar bersegeralah memakannya. Ya sudah, saya paksa saja. Betapa di luar prasangka!
Ternyata “untuk” ini masih panas. Ada kacang hijau dan wijen di atasnya. Lumer di dalam mulut. Laziz! Entah mengapa, saya belum menemukan untuk seenak ini di luar sana. Terberkatilah acil-acil yang membuat dan dermawan yang membelikannya untuk orang-orang para penuntut ilmu di dalam masjid ini. Saya jadi beristigfar, kepada “wadai untuk” yang nikmat ini, sempat-sempatnya saya berprasangka. Ada-ada saja.
Karena tak mungkin berlama-lama sampai selesai majelis, saya putuskan bersegera melanjutkan perjalanan. Lagian azan juga sudah berkumandang, saya mendengarnya di beberapa masjid lain. Saya salat isya lebih dulu mencari titik tersudut agar tak terlalu tampak terlihat yang lainnya. Ya, kondisi majelis ini gak padat sebagaimana majelis ta’lim yang biasa kami, para santri, padati di beberapa titik Kota Martapura.
Saya menyeberang bundarang simpang empat Kota Banjarbaru lagi untuk ke sekian kalinya. Air dalam kemasan yang tadi saya dapatkan saya bawa sebagai bekal kalau-kalau kehausan dalam perjalanan. Itu pasti.
Ketika langkah sudah sampai depan Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru, air tadi malah sudah habis. Langkah terus memantap, sebelah kiri saya pandang Kopi Selir tempat yang biasa saya tongkrongi. Gelak tawa canda para pemuda ada di sana. Ya sudah, belum waktunya. Saya melewati Syihab Phone, dengan beberapa orang bercengkaran di Syihab Corner, lewat. Ya sudah, belum waktunya.
Saya melewati pusat kota, Taman Idaman, Air Mancur dan Taman Mingguraya di sebelah kanan saya, baru ngeh ini Jumat malam dan ada perayaan puisi di panggung tengahnya. Ya sudah, cuktau, lah ya! Saya terus jalan. Sampa posisi rukuk (karena lutut penat sangat) di depan KFC, saya berhenti. Sudah tak sanggup melangkah. Sungguh sangat melelahkan. Saya berhenti di depan musala di depan KFC itu. Seluruh pintu terkunci termasuk pagarnya. Tentu saja karena ini sudah hampir pukul 9 malam. Saya duduk menyender di dindingnya. Sembari berdzikir dan menghkayal, andai ada yang berhenti siapa kek, tiba-tiba menawarkan tumpangan, misalnya. Tapi hanya angan-angan.
Saya mengusap kaki. Mengusap telapak yang sudah mengeras, dan menghitam. Tiba-tiba melirik sandal wudhu musala di sampingnya, kok bagus gitu ya. Talinya putih, solnya biru muda. Mencolok. Tampak naissee saya bilang. Terpikir untuk menukarnya. Namun ragu.
Saya beranjak ke tempat wudhu, berwudhu dan minum lagi. Cepat saya melangkah dan sandal tadi sudah tertukar. Dalam hati, “Ya Tuhan, saya pinjam lagi, ya. Janji deh, pokoknya pasti dibalikin,” saya meloncat pagar. Dan meneruskan perjalanan.
Betapa menyesalnya, sandal yang saya tukar tadi sangat tidak nyaman. Perjalanan belum satu kilometer, baru sampai SPBU Coco, sandal ini rasanya licin sekali. Dan jari-jari saya seperti tergelincir di atasnya. Busa murahan, shit! Astagfirullah! Dari sini saya belajar, “Belum tentu semua yang menyamankan pandangan juga akan nyaman saat bersama.”
Langkah terus berjalan, saya berhenti di depan Masjid Muhammadiyah. Istirahat sejenak. Lalu terus jalan lagi, berhenti lagi di depan pajak. Kaki saya sudah terlalu lelah, beruntung otak masih waras. Di seberang jalan, deretan ruko Bank Mandiri, Ray Surf, dan Hapeworld. Dalam kondisi demikian saya berdoa, Ya Tuhan, engkau kan tahu apa yang sedang saya dirikan, kelak ada Zent4 Art Galery di sana Ya Allah. Amin. Udah, ya yang namanya harapan, kan boleh-boleh aja, soal kapan Tuhan mengabulkan, itu hak preogatif, yang penting ikhtiarnya dah dilaksanain!
***
Fokus pikiran saya jadi ke sandal hitam lusuh yang saya tinggalkan di sana. Dia biasa saja, tapi empuk, enak diajak jalan begitu. Yang ini, Ah… tidak ada pilihan, jalanin aja!
Saya berhenti di sebuah halte, persis di depan Mes Adaro. Di seberang jalan terdapat sebuah outlet, Bantas Burger. Banyak orang membeli dan makan di sana. Sedap sekali. Tapi saya cukup bersyukur pada bagian memandang saja. Cukup.
Di sampingnya ada Droom Winkel, sebuah distro. Saya menunjuk dan berbicara sendiri, mumpung gak ada orang juga di sekitar sini. “Tungguin, ya, saya akan drop barang untuk dijual di situ. Karya-karya saya akan didisplay di sana, tungguin aja!” Cia gitu, saya tertawa sendiri. Asyik aja gitu bikin target-taget besar tapi masih realistis dan optimis. Berpikir besar dan memulai dengan langkah kecil. Asyik.
Saya terus melangkah, entah waktu sudah pukul berapa, jalanan masih ramai, orang berjualan masih buka dan lampu-lampu masih terang. Saya melewati kampus Uvaya. Sambil melihat kondisi sekitar, di seberang jalan, sebuah Avanza sekitar tahun 2009/2010 menepi. Seorang bapak-bapak khas kemeja kantoran yang ujung bajunya dimasukin ke dalam celana kain bergasper crocodile keluar lalu menilik-nilik kondisi ban belakangnya yang kempis.
Saya duduk di seberangnya. Persis di halaman Tiara Accu, tempat langganan saya kalau ngecek aki. Saya duduk, memerhatikan saja dari seberang. Tidak ada upaya dari bapak itu untuk memarkir dan mengeluarkan peralatan dongkrak. Tampak asyik melihat hapenya. Menelpon, dan berbicara. Saya terus memerhatikan saja.
Lama saya perhatikan, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal! Fix, antara dua, bapak itu memang gak bisa ganti ban serep, atau memang malas kotor! Oke, saya menyebrang!
“Bocor, Pak”
“Iya, nih!”
“Serepnya ada?”
“Ada.”
“Saya bantu ganti, ya!”
“Masnya, bisa?”