Lahir, kawin, naik haji, baru mati.

Barangkali sesederhana itu urang Banjar memandang tujuan kehidupan ini. Dalam diskusi buku Urang Banjar Naik Haji yang diselenggarakan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin dengan dimoderatori Abdani Solihin (Direktur LK3), sore Jumat (3/11/2021) di Rumah Alam, Sungai Andai, Banjarmasin, ritual naik haji adalah salah satu cita-cita tertinggi urang Banjar.

Drs Humaidiy, M.Ag pengajar di UIN Antasari Banjarmasin, yang mengupas dari prespektif teologis mengatakan, bahwa naik haji menduduki posisi penting dalam tujuan hidup masyarakat Banjar.

“Urang Banjar, ketika dia sudah berumah tangga, bukan membangun rumah tujuannya kemudian, melainkan naik haji,” ucapnya.

Selain merupakan rukun Islam ke-5, naik haji juga menjadi salah satu yang mampu menempatkan orang yang melaksanakannya memiliki status sosial terhormat di masyarakat, setidaknya di lingkungan tempat tinggalnya, atau secara umum di masyarakat Banjar.

Ada juga anggapan, lanjut Humaidy, nak haji untuk mengubah perilaku seseorang dari yang semula tidak baik menjadi lebih baik. Ia mencontohkan, apabila ada seorang anggota keluarga yang hingga usia dewasa atau tua perilakunya tidak juga berubah dari kebiasaan kurang baik semisal suka bermain domino atau kartu setiap waktu hingga lupa kewajiban salat, maka pihak keluarga ada yang mengusulkan agar orang itu dinaikkan haji.

“Ada banyak kasus seperti itu. Biasanya pihak keluarga akan berembuk untuk menaikkan haji anggota keluarganya yang dinilai perilakuknya tidak juga membaik padahal sudah berumur. Maka, pihak keluarga kemudian urunan untuk memberangkatkan orang itu ke tanah suci Mekah,” ujarnya.

Lantas, apakah setelah pulang dari berhaji orang itu akan lebih baik perilakunya?

“Ada yang memang menjadi baik. Tapi ada juga yang sebulan setelah pulang berubah baik, tapi bulan kedua mulai lagi mendekati teman-temannya yang suka main kartu, dan bulan ketiga ikut duduk lagi, berikutnya ia main kartu lagi,” beber Humaidy. Tapi, lanjutnya, ketika bermain kartu, si orang itu akan melepas dan meletakkan kopiah hajinya di lutut sembari mengatakan, “Ini tidak ikut ya…. Seolah, apa yang dia lakukan tidak terkait dengan kehajiannya ketika itu.”

Yang juga kadang disalahpahami orang dalam berhaji, cetus Humaidy, mereka beranggapan seluruh dosanya akan diampuni ketika dia berhaji. “Padahal, dosa yang diampuni itu yang hanya berkaitan dengan Tuhannya. Tidak termasuk dosa terhadap sesama manusia atau lingkungannya,” jelasnya.

Pemateri lainnya, Dr M Zaenal Arifin Anis menyebutkan, urang Banjar berhaji tidak semata sebagai ritual menjalankan rukun Islam, tetapi juga ada yang sekaligus untuk menuntut ilmu. “Ini ditunjukkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ketika berhaji ke Mekah, kemudian juga melanjutkan dengan menuntut ilmu di sana,” sebut dosen sejarah di Universitas Lambung Mangkurat ini.

Anis mengaku sangat mengapresiasi buku Urang Banjar Naik Haji, karena sejauh ini ia belum menemukan ada buku yang secara cukup detil menggambarkan bagaimana urang Banjar dalam memandang ibadah haji serta apa saja ritual atau budaya yang dilakukan sebelum berangkat serta sepulang dari berhaji.

Facebook Comments