PADA tahun 2012, saya dan tim Tempo Institute menemui banyak tokoh, mengajak mereka menulis surat untuk generasi muda. Surat yang terkumpul kami bukukan dalam buku berjudul “Surat dari dan untuk Pemimpin”, salah satu rangkaian program yang kami beri nama Menjadi Indonesia.
Berjumpa para tokoh ini sungguh proses yang mengharukan. Ajakan menulis surat buat pemimpin muda ini yang menggerakkan hati. Ada 120 tokoh dari berbagai bidang langsung menulis surat, tanpa meminta imbalan apa pun.
Pak Djoko Pekik, salah satu yang menjawab permintaan kami dengan gembira. Suratnya menggugah hati, lugas tanpa kata-kata berbunga, tulus, dan penuh harapan. Saya ingat, Pak Pekik dengan penuh semangat hadir dalam peluncuran buku ini, di Jakarta. “Ini acara penting,” kata Pak Pekik waktu itu.
Hari ini sang maestro pulang menuju rumahNya. Sugeng kondur, Pak Pekik. Suwarga langgeng.
Berikut ini surat Pak Djoko Pekik. Selamat membaca.
(Mardiyah Chamim)
***
UNTUK GENERASI MUDA SE-TANAH AIR
Kita sudah merdeka, tetapi kemerdekaan, yang sudah diwariskan para pejuang kemerdekaan dulu, tidak akan berarti kalau kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang positif dan berkarya. Keberhasilan saya ini karena saya punya semangat berjuang dengan terus berkarya sesuai hati nurani.
Saya pernah mengalami masa-masa yang sulit, sehingga tiarap di bawah kaki manusia, diinjak-injak, ditendang. Ditangkap rezim Soeharto, ditahan selama tujuh tahun (peristiwa 65). Tetapi, zaman sedikit demi sedikit berubah.
Dengan semangat dan konsistensi sebagai perupa, saya bisa berkarya sangat bebas, mengisi kemerdekaan, dengan semangat Tri Sakti (pidato Bung Karno, berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam seni dan budaya). Bahkan, saya dikenal banyak orang.
Contohnya, belum lama ini, suatu malam, mobil saya mogok. Ketika saya keluar, banyak orang membantu saya mendorong mobil itu ke tepi. Ketika saya mau memberi uang, mereka menolak. Ternyata, mereka mengenal saya dan meminta foto bareng. Saya terharu. Mereka bukan seniman, tetapi mereka mengenal saya.
Saya terus melukis meskipun hidup saya pada waktu itu sangat sulit. Suatu ketika, karya-karya saya dijadikan bahan penelitian, untuk disertasi doktor Astri Wright, dari Universitas Cornel, Amerika. Itulah awal perubahan dari perjalanan hidup saya, karena tulisan itu dibaca banyak orang di dalam dan luar negeri.
Lalu tahun 1989, saya diikutsertakan dalam pameran keliling Indonesia-Amerika Serikat (KIAS). Saya waktu itu mengangkat tema sederhana, tentang kehidupan tukang becak, petani, dan buruh, mendapat sanjungan kurator di Amerika, tetapi diprotes banyak seniman di Indonesia karena status saya sebagai eks tahanan politik.
Namun, protes itu justru mengundang perhatian mantan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja. Saya dibela, dengan mengatakan karya seni tak ada kaitannya dengan ideologi. Saya terus melukis, salah satunya “Keretaku Tak Berhenti Lama”. Sejak itu banyak orang lebih mengenal saya.
Saya konsisten berkarya. Saya melukis “Beburu Celeng”. yang dinilai fenomenal oleh berbagai kalangan, dan dibukukan oleh Romo Sindhunata. Menurut saya, celeng merupakan simbil watak manusia yang punya sifat angkara murka. Karena celeng itu hidupnya serakah, membabi-buta, merusak, bahkan matinya terhina, diburu orang dan digebukin orang.
Dengan semangat dan konsistensi saya untuk terus menghasilkan karya, akhirnya “Berburu Celeng” menjadi karya masterpiece saya.
Untuk generasi muda se-Tanah Air,
Setiap orang mempunyai perjalanan hidup yang berbeda. Tetapi, setiap orang mempunya hak yang sama, untuk mengisi kemerdekaan negeri ini. Untuk itu, kita harus selalu semangat, mau berjuang, dan konsisten berkarya di bidangnya, sesuai hati nurani.
Joko Pekik