Konon diceritakan, Putri Junjung Buih meminta Patih Lambung Mangkurat menyiapkan kain yang ditenun dari bahan rempah. Berwarna Kuning, dikerjakan dalam satu hari saja, oleh 40 orang perawan, sebagai syarat bersedianya ia menjadi permaisuri di Kerajaan Dipa.

Ringkasnya, setelah disunting Pangeran Suryanata, Putri Junjung Buih memunculkan diri memimpin Kerajaan Dipa yang didirikan Empu Jatmika. Jadilah kain bermotif itu sebagai pakian khas para petinggi kerajaan.

Pada sebagian riwayat lain disebutkan, Putri Junjung Buih mengajukan persyaratan kepada Patih Lambung Mangkurat, yakni mahligai mewah yang dikerjakan 40 tukang bangunan yang masih bujangan.

Berdasarkan legenda itu pula, Putri Junjung Buih yang berasal dari Kerajaan Nan Sarunai menampakkan dirinya ke alam manusia dengan menggunakan kain langgundi/sarigading hasil tenunan 40 wanita perawan memipin Kerajaan Dipa di Amuntai.

***

Profesor Emeritus Universitas Leiden, Belanda Johannes Jocobus Rass atau populer dengan Hand Rass dalam jurnalnya menyebutkan, Kain Sarigading berwarna kuning menjadi pakaian petinggi Kerajaan Dipa, (cikal-bakal Kerajaan Banjar, kelak).

Kerajaan Dipa ketika itu, menurut para peneliti, berpusat di Amuntai, (Sekarang ibukota Hulu Sungai Utara), pada perhitungan tahun 1355-1362, versi Hikayat Banjar.

Dalam riwayat lain dipaparkan pula, disandingkan dengan kain langgundi, induknya Kain Sasirangan yang populer sekarang.

Namun uniknya, tanpa harus melepaskan riwayat yang dimuat dalam referensi sejarah di atas, hasil tenunan dalam bentuk kain/tapih/sarung bermotif Sarigading akrab digunakan masyarakat Banjar yang benar-benar keturunan Banjar sebagai medium pengobatan, batatamba.

Menariknya, tidak sembarang orang yang ampuh dalam batatamba (pengobatan, red). Hanya yang memunyai hubungan kepada pendahulunya. Semisal bagian turunan dari pagustian, atau bahkan turunan kerajaan di era Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih.

Meski pada mulanya dilakukan masyarakat Banjar di pedalaman, batatamba menggunakan medium Kain Sarigading masih umum dilakukan hingga kini oleh sebagaian masyarakat Banjar sebagai ritual peninggalan leluhur.

Sebagaimana yang penulis temui pembuatnya di Kelurahan Seberang Masjid, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Kampung Sasirangan.

Kain Sarigading Sebagai Papintaan Batatamba

Nini Miah (82), demikian ia akrap disapa. Berjalan menuju rumahnya. Memasuki sebuah gang persis bersebelahan dengan rumah bertoko besar di bagian teras, menjual banyak jenis kain Sasirangan berbagai variasi motif yang berfilosofis.

Sedikit membungkuk, ia membawa beberapa pakaian basah sehabis mencuci di batang, (sungai, red). Badannya kurus, raut wajah yang tak lagi muda tergaris jelas di pelipis mata dan pipi. Ia mempersilakan kami masuk dan menceritakan apa yang diminta oleh si sakit kepadanya.

Nini Miah (kiri) ketika menunjukkan motif kain Sasirangan berwarna kuning bermotif yang dipercaya sebagai motif pilihan di era Kerajaan Banjar kepada penulis (kanan)

Nini Miah berujar, penyakit yang kerap tak bisa disembuhkan secara medis~termaksud adalah penyakit keturunan. Banyak sekali yang datang kepadanya meminta untuk dibuatkan kain atau dalam bentuk sarung dengan motif Sarigading. Menurutnya, kebanyakan keluarga dari mereka, si sakit, memunyai kakek atau datuknya yang dulu adalah bagian dari Kerajaan Banjar.

Namun tak sedikit pula, yang diganggu roh halus, semisal kesurupan, tak bisa makan, rasa sakit tak terkira, atau dulunya kakek/datuknya pernah ada kesepakatan dengan ‘Urang Subalah’.

Rasa sakit yang diderita pun variatif. Mulai dari sakit kepala, sakit di sekujur tubuh, sampai seperti kerasukan atau ketidakbiasaan lainnya.

Bahkan di era teknologi serba modern seperti sekarang ini, kebanyakan dari keluarga yang datang meminta untuk dibuatkan Kain Sarigading sudah melalui pengecekan di dokter-dokter ternama.

Rumah Sakit terkenal di luar negeri, misalnya, yang justru sudah melalui pengecekan medis berketerangan normal. Namun si sakit malah mengeluhkan rasa sakit yang tidak bisa digambarkan.

Secara rinci, Nini Miah tidak mengetahui hal ihwal penyakit yang diderita tamunya. Namun kebanyakan dari yang ia temui, bermacam-macam keluhan tersampaikan. Ada yang dirasuki jin, kesurupan, muntah tak berkesudahan, badan sakit, hingga yang paling banyak terjadi adanya roh para pendahulu yang menggampiri/mendampingi si sakit semisal dari roh atau titisan turunan Putri Junjung Buih.

Sebelum ia melakukannya seperti sekarang ini, Nini Miah mengaku tidak ada yang mau mewariskan kebiasaan menghadapi orang yang mengaku sakit dan minta dibuatkan Kain Sarigading.

Sampai satu ketika, Nini Miah dimimpikan agar melanjutkan pekerjaannya julak/saudara tertua dari ibu/ayahnya. Nini Miah memaparkan pekerjaan tersebut telah diwarisi dari datunya dahulu, berlanjut terus sampai 6 keturunan.

Bahari, marina tu baulah tapih sarigading, lalu manjualnya di batang. Lalu banyak urang nang antah dari dalam sungai atawa parak sungai Martapura nang manukar, (dahulu, bibi membuat Kain Sarigading di pinggiran sungai Martapura. Dan yang membelinya adalah penduduk sekitaran sungai, red),” paparnya kepada penulis.

Nini Miah meyakini, tidak sembarang orang yang ampuh pengobatannya menggunakan kain tenun Sarigading.

Facebook Comments