Puluhan orang yang berada di studio mini itu tengah menonton film pendek berjudul ‘Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi’ yang digelar oleh Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah (Darpusda) Kota Banjarbaru mengikuti rangkaian acara Diskusi Lektur dan Talkshow Penulis yakni Sandi Firly.

YUP! Sandi Firly seorang novelis asal kelahiran Kuala Pembuang itu didampingi oleh Duta Baca Indonesia yakni Golagong. Karya sastra yang dialih wahanakan menjadi sebuah film pendek itu dibahas tuntas, bagaimana proses dalam penggarapan hingga distribusi penayangan di 16 kota di Indonesia.

“Film ini diangkat dari cerpen saya terbit di koran Kompas pada 1 Desember 2019 lalu. Sebenarnya buku itu dalam proses cetak di Depok, karena ada kendala di ISBN maka belum diterbitkan lagi,” ucap Sandi Firly, novelis asal Banjarbaru kepada Asyikasyik.com, Sabtu (22/10/2022) malam.

Sandi menyebut buku itu merupakan kumpulan cerpen yang pernah terbit di beberapa media dan ditulisnya sejak lama, bahkan pertama kali menulis cerpen. Dia menceritakan latar belakang kisahnya itu bertemu para penyair lintas generasi di sebuah kafe.

“Pada zaman awal-awal menulis cerpen juga ada di dalam buku itu. Dan cerita dalam cerpen tersebut berkisahkan tentang pertemuan antar lintas penyair,” ungkap Sandi tersenyum.

Sandi cuma membayangkan, bagaimana keempat penyair dapat bertemu langsung dan berinteraksi secara puitis. Dia sendiri telah lama tertarik ingin mengulas cerita itu, hingga akhirnya terbit dan menjadi salah satu cerpen yang dimuat dalam Buku Cerpen Pilihan Kompas 2020.

“Tokoh penyair itu di antaranya yakni Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri dan Joko Pinurbo (Jokpin). Mereka bertemu dalam satu ruangan, nyatanya kita ketahui ada yang sudah wafat,” jelas dia.

Chairil dan Sapardi telah dahulu meninggalkan para penyair, walau kendati pun mereka semua belum pernah bertemu dalam satu waktu. Mungkin, kata Sandi bahwa almarhum Sapardi Djoko Damono (SDD) pernah bertemu langsung dengan Sutardji dan Jokpin. “Saya cuma membayangkan itu selama 2 bulan, kemudian baru menulisnya,” ujarnya.

Tentu, bagi Sandi menarik jika dituliskan kisah itu dalam cerpen dan apa saja yang diobrolkan mereka. Dia merasa akan banyak perbincangan ihwal puisi-puisi, bahkan obrolannya pun menjadi puitis.

“Apa yang diobrolkan mereka itu. Dan menjadi bayangam saya, mereka saling bersahutan dengan puisinya sendiri,” ucap Sandi, terkekeh.

Sandi melihat ada sebuah relasi atau hubungan yang kuat antar puisi mereka. Tentu, dia melihat banyak persoalan cinta namun dikemas secara baik, sehingga Sutardji dengan puisi yang acapkali bernuansa cadas itu menimpali Chairil yang patah hati.

Duta Baca Indonesia, Gol a Gong mengapresiasi karya film pendek yang diadaptasi dari cerpen Sandi Firly itu menarik sekali menjadi tontonan masyarakat Indonesia, khususnya Banjarbaru. Dia melihat memang tidak semua film dapat serupa dengan cerita di cerpen maupun novel, namun tetap menarik dengan visual yang baik dan logis.

“Saya mengapresiasi menghidupkan sastra lewat film. Namun saya melihat ada cutter di visual itu, makanya saya mempertanyakan setting waktu dalam cerpen,” ucap Gol A Gong.

Gol A Gong mengaku sangat menikmati short movie itu sebab ada pertemuan imajiner antar penyair. Dia sempat ragu, kemudian melakukan penelusuran di Google tentang rentang waktunya. “Ternyata antara Chairil dengan ketiga penyair, rentang waktunya cukup jauh sekitar 20 tahun,” ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Golagong berbagi pengalaman bahwa film pendek menjadi pintu masuk ke Hollywod. Sebab, dia melihat potensi filmaker Indonesia dan terlebihnya di daerah, sangat kuat diambil oleh pihak luar jika bermuatan kearifan lokal.

“Banyak sutradara-sutradara Indonesia yang membuat film pendek dengan eksperimennya. Dengan durasi pendeknya itu, mereka bawa ke perusahaan besar. Lalu banyak tertarik karena film pendek dimuat dengan kearifan lokal, karena ada eksotisme di sana,” terang Gol A Gong.

Bersama beberapa audiens yang hadir di Studio Mini Darpusda 

Sekretaris Darpusda Banjarbaru, Muhammad Nahwani menyampaikan terimakasih atas kehadiran warga Banjarbaru dan sekitarnya. Lewat film pendek ini, dia menginginkan dapat melahirkan banyak karya sineas bernuansa cerpen, sehingga menambah nilai literasi di kota idaman tersebut.

“Ini sungguh luar biasa dapat bertemu langsung dengan Duta Baca Indonesia, Golagong. Kita ketahui sejak tahun 2000, Banjarbaru dinobatkan sebagai kota pendidikan maka diharapkan adanya Festival Literasi Banjarbaru menjadi icon tersendiri dan memperkuat masyarakatnya,” tutur Nahwani.

Menjadi optimis, Nahwani menyebut kehadiran perguruan tinggi islam menjadi tambah bergairah dunia literasi di Banjarbaru. Seperti kampus 2 UIN Antasari ini, dia merasa memperkuat kembali pendidikan yang sudah ada. “Saya harap menjadi icon literasi di Kalimantan Selatan,” pungkasnya.

(Foto bersama; Nurul Asmayani, Rosida Ridha, M. Luthfi Baihaqie, Gol A Gong, Nahwani, dan Hudan Nur)

Giat yang dimoderatori oleh Diang Anggrek sekaligus kru film pendek asyikasyik.com. Sebagai informasi, film pendek ‘Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi’ ini telah ditayangkan serentak di beberapa kota seperti Banjarbaru, Jakarta, Palu, Kendari, Samarinda, Padang, Sukabumi, Bulukumba, Batam, Bandung, Barru Sulawesi Selatan, Pekanbaru dan Bandung. Acara ini juga dihadiri oleh Kepala Balai Bahasa Kalimantan Selatan.@