SUATU malam di tahun 1939 di Café Society yang muram, di Greenwich Village, Manhattan. Setelah kemurungan larut dalam sentimentalia alkohol, para pelayan di klab yang tak memiliki persoalan dengan perbedaan ras itu, berhenti melayani pengunjung. Lampu-lampu dimatikan. Seorang perempuan kulit hitam yang kelak dikenal dengan balada-balada cintanya yang lambat dan mengharukan, naik ke atas panggung—seberkas cahaya menyoroti wajahnya. Ketika intro dimainkan, matanya terpejam, seolah mendaras doa. Sebuah lagu mengalun lirih dari bibirnya.

Southern trees bear a strange fruit,

blood on the leaves and blood at the root,

black bodies swinging in the Southern breeze,

strange fruit hanging from the poplar trees

 

Pastoral scene of the gallant South,

the bulging eyes and the twisted mouth,

scent of magnolia, sweet and fresh,

then the sudden smell of burning flesh.

 

Here is a fruit for the crows to pluck,

for the rain to gather, for the wind to suck,

for the sun to rot, for a tree to drop,

here is a strange and bitter crop.

 

Bermula dari peristiwa 7 Agustus 1930 ketika ribuan massa yang marah mendatangi penjara Indiana. Mereka menjebol pintu, meluruk masuk, dan menyeret tiga pemuda Afrika-Amerika, J Thomas Shipp, Abraham S Smith, dan James Cameron yang dituduh merampok dan membunuh seorang pekerja pabrik kulit putih, Claude Deeter dan memperkosa pacarnya, Mary Ball. Ketiganya lalu digelandang ke alun-alun. Shipp dan Smith diadili dengan cara biadab; dipukuli sampai mati lalu digantung di pohon poplar.

Adapun Cameron, berkat bantuan seorang wanita tak dikenal yang bersaksi bahwa remaja 16 tahun itu tidak terlibat dalam kejahatan tersebut, berhasil lolos. Namun belakangan, Cameron dipindahkan ke luar kota dan mendapat hukuman empat tahun penjara.

Selepas dari penjara, Cameron memutuskan pergi ke Detroit untuk melanjutkan kuliahnya yang terbengkalai, dan baru kembali ke Indiana pada tahun 1940 di mana ia bergabung dengan National Association for Advancement of Coloured People (NAACP), sebuah lembaga yang memperjuangkan kesetaraan hak politik, pendidikan, sosial dan ekonomi bagi semua orang. Ia bahkan sempat menjabat Direktur Negara Bagian Indiana dari Kantor Kebebasan Sipil di tahun 1942.

Pada tahun 1950, Cameron pindah bersama keluarganya ke Milwaukee, Wisconsin, dan mendirikan Black Holocaust Museum di tahun 1988 yang didedikasikan untuk sejarah Afrika-Amerika di Amerika. Cameron juga menulis sebuah otobiografi yang berjudul A Time of Terror. Cameron meyakini bahwa suara yang datang dari kerumunan untuk menyelamatkan hidupnya adalah suara malaikat. Dalam sebuah wawancara ia menyatakan, tuduhan perampokan, pembunuhan dan perkosaan kepada Shipp dan Smith, adalah dusta.

Pernyataan tersebut menyusul kesaksian Mary Ball sendiri yang mengaku kalau dirinya tidak diperkosa dan polisi hanya memberikan tuduhan palsu.

Peristiwa pembantaian di alun-alun itu diabadikan Lawrence Beitler dalam sebuah foto; dua mayat tergantung di pohon poplar, ditonton ribuan orang. Sepuluh hari kemudian Beitler membuat salinannya dan menjualnya hingga laku ribuan eksemplar. Foto Beitler inilah yang dilihat oleh penyair, komposer, guru, yang anggota Partai Komunis Amerika, Abel Meeropol di tahun 1937.

Merasa terusik, Meeropol menulis sebuah puisi dengan judul Strange Fruit (buah yang aneh). Puisi yang ia dipublikasikan dengan nama samaran Lewis Allen dan dicetak dalam publikasi serikat guru itu, lantas dibuatkan musiknya dan dibawakan dalam rapat-rapat buruh di Madison Square Garden. Strange Fruit akhirnya didengar oleh manager Café Society yang kemudian mengenalkannya kepada Billie Holiday.

Saat pertama kali menyanyikan Strange Fruit, Holiday mengaku sangat ketakutan dan khawatir akan kemungkinan terjadinya pembalasan kepada dirinya. Holiday mengatakan, gambaran yang dilukiskan dalam Strange Fruit mengingatkan akan kematian ayahnya sendiri. Memori itulah yang mendorong Holiday untuk tetap menyanyikannya. “Seusai Strange Fruit kunyanyikan, aku pikir ada kesalahan karena tak seorang pun bertepuk tangan. Tapi kemudian, seseorang mulai bertepuk tangan dengan gugup, dan tiba-tiba semua orang bertepuk tangan,” kenang Holiday.

Sejak malam itu Strange Fruit berubah menjadi simbol perlawanan terhadap diskriminasi. Akan tetapi ketika Strange Fruit ditawarkan untuk masuk dapur rekaman, John Hammond, selaku produser Holiday, menolak karena takut mendapat masalah dengan pemerintah. Holiday lalu mendekati perusahaan rekaman Commodore miliki Milt Gabler. Gayung bersambut. Gabler yang sejak lama menentang diskriminasi terhadap warga kulit hitam dengan penuh keberanian, merilisnya. Di luar dugaan, Strange Fruit meledak di pasaran dengan angka penjualan mencapai satu juta kopi.

Menurut Max Roach—drummer paling penting dalam sejarah musik jazz di Amerika—keberhasilan Strange Fruit bukanlah melulu soal angka. Keberanian merekam lagu itu adalah tindakan revolusioner karena Holiday mampu membuat kita semua menjadi orang kulit hitam. Sebuah publikasi ternama di Inggris, Q Magazine bahkan memasukkan Strange Fruit sebagai salah satu lagu yang benar-benar mengubah dunia. International Committee of the Fourth International (ICFI) mencatat tak kurang dari 4.000 orang menjadi korban selama periode rasialisme waktu itu.

Ternyata, meski sama-sama berirama lambat dengan lirik-lirik mengharukan sebagaimana umumnya ciri lagu-lagu Holiday, Strange Fruit bukanlah balada cinta. Dan ‘buah yang aneh’ itu adalah buah dari kebiadaban manusia hatinya telah dirusak oleh kesombongan dan kebencian.@

 

Facebook Comments