(Penerjemah: Iwan Nurdaya-Djafar)

NATAL 1942.

Itulah Natal yang tak pernah dilupakan oleh Tanguy, suatu gencatan senjata yang ringkas telah menciptakan harapan yang diselenggarakan dengan persetujuan bersama di dunia yang sepi dan mati itu. Beberapa hari sebelumnya para tawanan mulai menggosok gubuk-gubuk baraknya dan menghiasinya dengan dahan-dahan cemara serta karangan-karangan bunga dari kertas berwarna. Mereka telah memakukan pesan-pesan Natal di pintu-pintu.

Selanjutnya adalah Hari Natal itu.

Inspeksi sore lebih singkat dibanding biasanya, dan komandan mengucapkan selamat Hari Natal yang berbahagia kepada para tawanan. Kemudian pengeras-pengeras suara mulai menyiarkan lagu-lagu gembira. Sup kupasan-kupasan kentang mengambang di dalamnya dan berwarna sedikit kemerah-merahan ketimbang biasanya. Setiap orang setuju bahwa rangsum roti telah sedikit meningkat.

Suasana di kamp berubah samasekali. Kalau biasanya sering bercekcok dan saling menghina kini berbicara dengan nada-nada bersahabat. Mereka saling memberi puntung-puntung rokok dan kemudian menanyakan kesehatan sahabatnya. Mereka pun bersikap ramah kepada Gunther;1 dan salah seorang dari mereka yang selalu memperlihatkan dirinya bermusuhan secara berlebihan kepada pemuda Jerman itu tampak berjabat tangan dengannya.

Di lautan abadi dari kebencian yang membentuk hidup mereka hari ini ditahankan, sebuah pulau kedamaian. Para tawanan berbaring di atas bangku tidur dan mengimpikan negeri-negeri dan rumah-rumahnya sendiri, yang berbeda, sebelum perang Natal. Karena inilah suatu malam mereka merasakan lebih dari sekali keharuan di dalam dirinya karena boleh berleha-leha di dunia itu, dan secara naluria mereka tahu bahwa benang yang berjalinan adalah harapan. Harapan untuk kedamaian sejati dari niat baik manusia; di atas semua itu, harapan melewatkan kembali hari-hari Natal di masa depan di rumah-rumah mereka sendiri, bersama orang-orang yang lebih pantas.

Malam kudus, sunyi senyap” – seluruh dunia, mereka mengetahui, di dalam perbedaan bahasa yang tiada terbilang jumlahnya, menyanyikan dan mendengarkan lagu gembira ini; dan di mana saja orang-orang mendambakan kedamaian yang serupa ini yang telah dijanjikan untuk manusia oleh niat baik.

Tanguy pun berbaring dan bermimpi. Dia merasakan di dalam dirinya sebuah kenangan tak terhingga bergerak ke atas pada setiap hari Natal yang tak pernah ia kenal: hari-hari Natal itu akan ia lewatkan dalam kedamaian persahabatan dengan keluarganya, dengan sebuah pohon Natal nan indah gemerlapan. Dia merasakan di dalam dirinya kenangan bersama dari semua anak-anak yang, tanpa orang tua dan tanpa kasih sayang, tetap memimpikan suasana Natal. Kerinduan yang tak terperikan dari anak-anak di manapun berkobar di dalam dirinya: itulah yang Dickens lukiskan dalam Christmas Carol-nya, semua anak yatim-piatu dan anak-anak lelaki yang murah hati dan semua orang, anak laki-laki atau perempuan, yang tak pernah mengenal kasih-sayang sejati. Dia merasakan di dalam hatinya yang paling dalam apa yang orang-orang miskin ini kehilangan kemampuan merasakannya: ketiadaan kenangan bahagia yang manapun.

Gunther mendekati bangku tidur Tanguy. Wajahnya, dalam cahaya sore nan muram, tampak lebih bagus dan tampan ketimbang biasanya, pikir Tanguy. Gunther tersenyum padanya dan mengucapkan selamat Natal.

“Selamat Natal, Tanguy.”

“Lihat,” kata Gunther, “Aku membawakanmu hadiah. Tidak banyak, tetapi semuanya dapat kutemukan. Terimalah sebagai tanda kasihku padamu.”

Tanguy mencoba tersenyum sebagai tanda terimakasihnya, meskipun justru ia menemukan dirinya tersipu-sipu serta gagap dan nyaris menitikkan airmata. Dengan kikuk ia membuka bingkisan itu. Isinya sebuah buku: Kebangkitan karya Tolstoy.

Dia berterimakasih kepada Gunther dengan suara serak.

Gunther berdiri di depannya, pada wajah Tanguy yang masih tampak cahaya redup dari bulan musim dingin. Emosi anak-anak bangkit dengan hebat, dan ia masih belum dapat menemukan apapun untuk berkata mengungkapkan rasa terimakasihnya, meskipun banyak yang ingin ia ceritakan pada Gunther. Ia duduk di atas bangku tidurnya dalam penderitaan.

“Tanguy … aku ingin mengatakan sesuatu padamu …”

“Ya?” Tanguy bertanya dengan tak sabar.

Gunther tampak ragu-ragu. Lalu dengan suara bimbang, ia berkata, “Jika sesuatu … terjadi denganku pada suatu hari, geserlah bangku tidurku dan bongkarlah lantai terdekat. Di bawahnya akan kautemukan sebuah medali kecil dari emas. Aku mengenakannya pada hari penangkapanku. Itu kepunyaan ibuku. Aku mewariskannya kepadamu.”

“Tapi apa kau merasa peristiwa itu ada padamu?”