Gelap baru saja beranjak disertai derap langkah kaki yang beriringan di atas tanah berdebu ketika para nelayan menuju garis pantai tempat perahu-perahu kecil berbaris. Iring-iringan dengan segera dilumat bayang-bayang gelap di bawah bulan yang meradang terang. Tidak ada berisik musik-musik dari pulau seberang pun gemerlap lampu kelap kelip dari kafe-kafe dan pesisir mulai menjala kesunyian malam.

“Sudah lama sekali pemandangan seperti ini tidak terjadi, entah hampir sepuluh tahun.” Dahrun melongok dengan tangan bertumpu pada bibir jendela sembari menghitung jari jemarinya.

“Tidak disangsikan lagi, para nelayan itu telah lama sekali kecewa dengan hasil tangkapan – bahkan sudah bercerai dengan ombak.”

“Indah sekali bulan itu. Terang namun sendu, ada awan tipis juga,” Plonga-plongo, Dahrun seperti orang gila mulai bicara sendiri.

“Apa bulan bisa menangis?”

“Bulan tidak menangis, hanya sedih saja,” sergah batinnya.

Dahrun masih saja melongok dari jendela yang terbuka dan melepas pandangan ke arah laut. Di rumah hanya ada dia seorang diri. Rumah di pinggir jalan setapak itu hanya ada petromax yang temaram bersama laron-laron gentayangan. Ia tidak puas dengan jawaban dirinya atas pertanyaan tadi. Kembali lagi ia pusing dengan pertanyaannya itu.

“Ah, aku tahu kenapa malam ini terasa sedih.”

“Karena bulan menangisi para nelayan yang beriringan tadi.” Ia tampak senyum dan riang sendiri. Sementara laron menyambut dengan hinggap di rambutnya.

“Lah, kenapa juga bulan menangisi mereka?” Dahrun tak tenang lagi oleh pertanyaannya sendiri dan mulai garuk-garuk kepala.

Cukup lama ia diam sekaligus merenung. Sesaat kemudian beranjak dari tempatnya menuju dapur – mengambil tembakau di plastik kecil. Tembakau hitam yang tak berani disentuh oleh orang lain karena keras. Tidak hanya itu, ia juga mengambil kulit jagung yang memang sengaja disiapkan khusus untuk merokok. Maklum, Dahrun adalah perokok kelas kakap yang berprinsip lebih baik tidak makan ketimbang tidak merokok. Apalagi di malam seperti ini.

Kembali lagi dia ke posisinya di dekat jendela, sembari melongok. Tapi kali ini sedikit agak berbeda. Ada kepulan asap rokok yang mulai menghalau terangnya bulan – sekali dua kali dia batuk karena menelan kepulan asap yang tak berhasil keluar dari hidungnya.

“Ah, nasib,” celetuknya. Menarik napas dalam-dalam dan membuangnya sembari mendongak ke arah bulan dan berharap semoga dicerahkan atas tanya yang kian berkecamuk.

“Bulan…bulan, kenapa aku yang gila? Ah sial, bajingan!”

Gejolak kian meradang sekaligus melolong dari dalam dirinya. Menyesal ia dibuat oleh pertanyaan tak penting itu yang bahkan mengganggu malamnya.

“Bukankah menikmati terangnya bulan disertai hisapan rokok itu adalah surge.” Dahrun menghisap rokok dalam-dalam, derakan tembakau dan kulit jagung terdengar jelas dilumat api.  Malam ini terasa sesak. Bulan juga meredup dan angin mulai mendesak masuk, menusuk, melepas dingin disertai suara ombak.