SIANGi tu (14/6/2023) pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalsel, berkunjung ke rumah tokoh masyarakat yang dihormati hampir semua agama, Prof Malkianus Paul (MP) Lambut. Umur beliau sudah jalan 93 tahun. Selain dosen, juga dikenal sebagai budayawan, pengamat dan pelaku sejarah. Mengajar di ULM sangat lama, mungkin terlama dibanding dosen lainnya, 57 tahun. Bahkan bukan hanya di ULM, juga mengajar di STIEI, STT GKE dan banyak kampus lainnya, sehingga muridnya ribuan, tersebar di banyak tempat.

“Kalau misal saya tidak punya beras di rumah, saya tinggal jalan kaki, tidak lama pasti ada murid yang menegur, kalau saya katakan bahwa perlu beras, rasanya mereka pasti membatu”, kata MP Lambut sambil bergurau dengan kami, di ruang tamu rumahnya yang rapi.

Banjar itu masyarakat sungai, bukan masyarakat darat, kata dia. Bagaimana karakter masyarakat sungai? Sungai itu menerima apa dan siapapun yang datang. Tidak pernah menolak. Berbeda dengan orang darat yang bisa dan mudah menolak orang lain. Dada dan tangan masyarakat sungai selalu terbuka untuk semua orang yang datang.

“Banjar tidak pernah menolak suku atau agama apapun yang datang. Semua suku dan agama ada, mulai Dayak Biaju hingga Arab, Tionghoa dan lain sebagainya. Tidak pernah ada konflik atas nama suku atau agama di sini,” ucapnya.

Tahun 1835, ketika J.H. Barnstein, seorang misionaris Jerman tiba di Banjarmasin untuk mengabarkan injil, Barnstein yang orang Jerman tersebut tentu tidak disukai oleh Belanda, tapi kemudian sultan Banjar menyambutnya, dan berpesan, jangan kamu menyebarkan agama pada orang yang sudah beragama. Setelah itu Sultan Banjar mengutus orang untuk mengantarnya ke pedalaman Kapuas, hingga ke Gohong (Kahayan Hilir). Dari sanalah Kekristenan dimulai di tanah Borneo.

Kalau waktu itu orang Banjar ingin membunuh Barnstein, tentu sangat mudah. Tapi tidak dilakukan. Justru dilindungi dan dibantu dalam melaksanakan misinya. Jadi, Kekristenan pada orang Dayak, terjadi karena bantuan Sultan Banjar.

Coba lihat, katanya, bagaimana mungkin kantor Gereja Dayak yang kemudian menjadi GKE, bisa berada di tengah kota? Hal itu terjadi, karena orang Banjar menganggap orang Dayak sebagai dingsanak. Sering dulu terungkap oleh orang Banjar, bahwa Karistin Biaju itu Dingsanak kami, karena itu saya tidak ada rasa khawatir, was-was atau merasa tidak aman berada di tengah-tengah orang Banjar.

Apa itu Biaju? Tanya MP Lambut pada kami semua yang mendengarkannya bertutur. Biaju itu, lanjut dia, adalah orang pedalaman di hulu Kapuas yang tidak memiliki pendidikan dan pengetahuan apapun, seorang yang bodoh lagi buta huruf dan itulah saya.
“Kalau dulu saya tidak pergi ke sini untuk merantau dan sekolah, entah jadi apa saya di hulu Kapuas sana,” kata MP Lambut, mengenang waktu awal kedatangannya ke Banjarmasin.

Lalu dia melanjutkan ceritanya, bagaimana mungkin STT GKE, sekolah yang mencetak para pendeta, bisa berada di tengah kota, sedangkan IAIN di pinggir kota? Semua itu karena kecintaan dan rasa persaudaraan orang Banjar kepada orang Dayak.