BUKU: Foto bersama para peserta diskusi buku “Kitab, Buku, Sepak Bola” di Kampung Buku, Banjarmasin, Selasa (16/5/2023) malam). (foto: hayyun)

Sebab itu Hairus mengingatkan betapa bahayanya bullying. “Bullying bisa terjadi di mana saja, tidak terkecuali di pesantren. Dampaknya sangat berat bagi si anak. Kita harus cegah bullying ini, terutama yang bisa kita lakukan di lingkungan di mana kita berada,” pesannya.

Ada banyak hal.menarik lainnya yang ditulis Hairus dalam bukunya setebal 222 halaman (terdiri 16 kisah) yang diterbitkan oleh Kayu Manis, April 2023, ini.

Terkait judul “Kitab, Buku, Sepak Bola”, terdapat pada dua tulisan, yakni pada tulisan ke-12 dengan judul “Antara Kita, Buku, dan Hobi Menulis” (hal. 172), dan tulisan ke-15 “Sepak Bola: Sebuah Intermezzo” (hal. 199). Judul kisah lainnya yang menarik: “Mengaji ke Guru Sekumpul” dan “Para Tamu Istimewa: Syekh Yasin Padang, Syekh Abdul Karim Al-Banjary, dan KH Idham Chalid”.

Dipilihnya “Kitab, Buku, Sepak Bola” sebagai judul buku bersampul biru dengan sketsa pondok Al-Falah ini mencerminkan diri penulisnya. Kitab terkait pondok pesantren, buku sebagai dunia yang hingga kini digeluti penulis, dan sepak bola— ini saya kira lebih soal momen saat buku ini dikerjakan dan diterbitkan, yakni Piala Dunia yang baru berakhir digelar Desember 2022 lalu, dan sepak bola SEA GAMES 2023 yang kali ini Timnas Indonesia U-22 berhasil juara setelah mengalahkan tim kuat Thailand di final dengan skor telak 5-2.

Perkara sepak bola ini pula yang menjadi selingan di tengah berlangsungnya diskusi. Sesekali ada interupsi soal informasi skor.
Diskusi yang dimoderatori Arif Rahman dari Kampung Buku ini juga menghadirkan Ali Mu’ammar, dosen UIN Antasari yang juga mantan santri.

Ali ternyata sekampung halaman dengan Hairus di Murung Pudak, Kabupaten Tabalong. “Jadi, sebenarnya sosok Hairus Salim ini sudah menjadi panutan dan inspirasi bagi kami yang lebih muda kala itu,” ujar Ali.

Yang paling diingat Ali, Hairus pertama kali yang mengenalkan Pesantren Kilat kepada mereka di kampung.

“Terkait buku ini, sebagai juga mantan santri, apa yang diceritakan Hairus sangat menarik. Mengingatkan saya juga pada masa-masa di pondok. Bagaimana misalnya saya pertama kali masuk pondok begitu terkesan ketika mendengar para santri berbicara dalam bahasa Arab, namun dialeknya Banjar,” ujar Ali yang pernah mondok di Darul Hijrah, Kabupaten Banjar, ini.

Begitu pula soal sepak bola. Menurutnya, olahraga inilah salah satu yang membuatnya betah di pondok. “Kalau tidak ada permainan sepak bola di pondok, mungkin saya sudah berhenti nyantri,” ceritanya.

Ada beberapa tanggapan dan kisah menarik lainnya yang juga disampaikan peserta,  terutama mereka yang memang pernah mondok di Al-Falah. Jadi, semacam saling berbagi kenangan masa nyantri.

Hairus sendiri menyebutkan, selain sebagai kenangan hidup atau memoar dirinya, buku ini juga dimaksudkan sebagai upaya merekam jejak “sejarah” Pondok Al-Falah pada hampir empat dekade lalu.

“Sekarang Al-Falah sudah berkembang dan banyak perubahan. Dan buku ini adalah sebagai pengingat bagaimana pondok pesantren itu pada masa sekian puluh tahun lalu,” ujar Hairus yang kini bermukim di Yogyakarta dan juga menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Bumi Cendekia di kota itu.@